Uang, Kuasa dan Moralitas

  • Bentara Flores Pos

Oleh Avent Saur

Serakah

Manusia pada umumnya tidak menyadari eksploitasi yang ditumbuhkan oleh nafsu untuk menumpuk kekayaan. Akibatnya, hati manusia membeku, dan matanya buta terhadap penderitaan orang lain. – John Mansford Prior

Semua orang pasti membutuhkan uang. Kebutuhan akan uang semakin tinggi bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan akan barang dan jasa yang semakin tak terbendung. Untuk memperoleh barang-barang atau jasa-jasa pelayanan tertentu, terlebih dahulu, orang mesti memiliki uang. Atau sebaliknya, untuk memperoleh uang berapa pun yang dikehendaki, terlebih dahulu, orang mesti memiliki barang-barang atau jasa-jasa tertentu yang siap diberikan kepada orang yang membutuhkannya.

Konsep dasar dari dinamika hidup seperti ini, adalah kemandirian. Ini baik, secara moral. Tapi sedemikian kuatnya semangat kemandirian, sampai-sampai orang melangkah pada jalan keserakahan, yakni mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, tanpa peduli terhadap semangat kekeluargaan, gotong royong, dan solidaritas. Atas nama kemandirian, orang semakin sulit berbagi; atas nama pemenuhan kebutuhan pribadi, orang semakin egoistis dan individualistis; atas nama kekayaan, orang menggeser semangat kekeluargaan ke pinggir, demikian juga orang mengesampingkan semangat gotong royong. Moral sosial pun dirusakkan, demikian juga halnya dengan moral pribadi.

Namun kerusakan moral dalam kenyataan-kenyataan ini mungkin masih terbilang ringan apabila kita membandingkannya dengan kenyataan lain yang secara nyata menggambarkan kerusakan moral secara masif, di mana orang berjuang memperoleh uang dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang tidak wajar. Sebut saja praktik korupsi dalam pelbagai tingkat dan dengan pelbagai cara di mana orang mencaplok hak milik orang lain, praktik perdagangan orang, penipuan, perampokan, pencurian, penyuapan, mengeksploitasi tenaga kerja, sindikat narkoba dan pelbagai praktik tidak wajar lainnya, termasuk praktik menjual diri sendiri, semisal prostitusi.

Kerusakan moral ini tergolong masif, karena secara sadar, orang hidup dalam kepalsuan; orang mengeksploitasi orang lain dan mengalienasi diri; orang menciptakan dan mempertebal serta mempertinggi sekat-sekat sosial; orang memperlebar ketimpangan dan kesenjangan sosial; kejujuran dan solidaritas kehilangan tempatnya dalam diri mereka dan dalam masyarakat. Intinya, adalah dengan bermodalkan uang, orang ingin memiliki kuasa dalam bidang sosial, ekonomi, politik bahkan ingin mengendalikan budaya (peradaban).

Bagi orang-orang yang sadar secara sungguh bahwa kenyataan ini sebagai sebuah kejahatan, terutama orang-orang beragama entah sebagai pemimpin, entah umat biasa, yang secara luas dikenal sebagai pemegang kunci moralitas, kenyataan-kenyataan ini mesti dilawan. Tentu ada banyak orang yang telah menempuh jalan perlawanan itu, dan salah satu tokoh militan yang patut kita sebutkan di sini adalah Arnoldus Yansen yang hidup pada dua abad: 1837-1909. Ia melawan kekacauan politik dan kecenderungan mengabsolutkan uang (materialisme) pada zaman itu, dengan jalan mendirikan tiga serikat misi dengan semata-mata mengandalkan Allah: SVD (1875), SSpS (1889), dan SSpS Ap (1896).

Arnold-Janssen--Maria-Helena-dan-Yosefa

Beata Maria Helena, Santo Arnoldus Yansen, Beata Maria Yosefa

Santo Arnoldus Yansen menyadari bahwa dalam mendirikan rumah misi, ia membutuhkan uang. Tapi baginya, uang adalah hal sekunder, dan hal primer adalah rencana manusia dan perestuan Allah atas rencana tersebut. “Uang berada di saku penderma,” tegas Arnoldus ketika ditantang para pemimpin Gereja lokal di Jerman dan Austra pada waktu itu.

Keyakinan ini tentu didasari oleh ajaran Yesus sendiri. Yesus mensyaratkan murid-murid-Nya untuk mengosongkan diri dari uang dan harta. Yesus menghendaki penyerahan diri yang total, yang mengandalkan Allah sebagai sesuatu yang absolut.

Spiritualitas Arnoldus Yansen inilah yang diangkat kembali oleh Pater Lukas Jua SVD dalam seminari sehari dalam rangka Perayaan Yubileum 125 tahun SSpS sejagat yang diselenggarakan di Ruteng, Kamis (4/12). Setidaknya, para pengikut Santo Arnoldus Yansen, dan Gereja pada umumnya, diingatkan untuk meneladani spiritualitas ini dalam menjalankan pengabdian umat dan masyarakat.

Kita tentu tidak menghendaki diri kita tereksploitasi oleh nafsu akan kekayaan. Kita mau hati tidak beku dan mata tidak buta terhadap orang-orang yang dipercayakan Tuhan dalam tanggung jawab kita. Dengan cara ini, kita akan mampu menjaga moralitas tanpa kekuasaan uang.*** (Flores Pos, 9 Desember 2014)

About Avent Saur

Lahir 27 Januari 1982 di kampung Weto, Kecamatan Welak, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Bulan kelahiran ini masih diragukan, karena Mama saya bilang saya dilahirkan pada bulan usai panen jagung dan padi. Yah... sekitar bulan Juli. Di akte kelahiran dan surat baptis (agama Katolik), 27 Juli 1982.Studi filsafat dan teologi pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Pernah menjadi wartawan pada majalah bulanan KUNANG-KUNANG (2008-2009). Sekarang, tinggal di Ende, "bantu-bantu" di harian umum Flores Pos. Blog ini dibuat, sejak 20 April 2013.
This entry was posted in OPINI and tagged , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment