Wafat di Taman Ideologi

Hukuman Mati

Tolak hukuman mati

  • Soal Hukuman Mati

Oleh Redem Kono

Menulis

Redem Kono, Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta

Ketika tulisan sederhana ini dibuat, eksekusi terhadap para terpidana narkoba mulai dilaksanakan. Sambil mendoakan mereka yang telah dan akan dihukum mati serta ketabahan keluarga mereka, saya coba mengurai tiga pokok yang patut direfleksikan.

Pertama, hukuman mati terhadap para terpidana kasus narkoba dan tindakan kriminal lainnya merupakan bagian tak terpisahkan dari revolusi mental yang diusung pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi mengumumkan gawat darurat narkoba di Indonesia, dan karena narkoba membahayakan karakter bangsa, maka hukuman mati terhadap para terpidana kasus narkoba harus dilakukan secara niscaya. Hukuman mati tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera yang berujung pada pelenyapan narkoba dari bumi Nusantara.

Kedua, demi memperoleh legitimasi publik, Jokowi meminta dukungan organisasi-organisasi Islam seperti MUI, Mumammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Namun toh, penolakan hukuman mati tetap ada dengan bersandar pada perspektif hukum, religius, budaya dan lain-lain. Dari perspektif agama Katolik, misalnya, hukuman mati bertentangan dengan harkat dan derajat manusia sebagai citra Allah (imago Dei), karena itu, manusia tidak mempunyai hak untuk mencabut nyawa sesamanya dengan alasan apa pun.

Ketiga, hukuman mati tersebut berdiri di atas asas utilitarian yang memutuskan segala segala sesuatu berdasarkan asas manfaat. Jauh-jauh hari, para pemikir yang sejalan dengan asas tersebut (seperti J.S. Mill) merumuskan salah satu prinsip yang kira-kira begini: “Demi kebahagiaan banyak orang, tak ada ruginya bila dua atau tiga orang dikorbankan”. Demi penegakan hukum, kemanusiaan dan kesejahteraan dari “mayoritas” rakyat Indonesia, tak ada salahnya jika “beberapa orang” tetap mendapat hukuman mati.

Saya coba memeriksa tiga alasan ini. Pertama, argumen pertama bersandar pada derivasi logis bahwa hukuman mati terhadap para terpidana kasus narkoba atau kejahatan lainnya secara otomatis dapat menurunkan, bahkan dapat menghilangkan gunung es peredaran narkoba dan tindak kriminal di Indonesia. Saya berpandangan lain. Menghilangkan kejahatan (narkoba) dengan melakukan kejahatan (membunuh) justru dapat menghadirkan sosialisasi dan retaliasi kekerasan dalam masyarakat. Selain itu, pembunuhan terhadap para terpidana narkoba tampaknya meminggirkan fakta bahwa persoalan narkoba adalah fenomen gunung es yang juga melibatkan para pemodal dan kaum elite.

Kedua, pencarian legitimasi publik melalui legitimasi teologis dari pemerintah tidak mempertimbangkan fakta Indonesia sebagai negara multikultural. Indonesia tersulam dari solidaritas-solidaritas pra politis yang datang dari agama, budaya, dan lain-lain. Dengan meminta dukungan dari agama tertentu, Jokowi menyumbat aspirasi-aspirasi yang relevan dari kelompok-kelompok religius dan kultural lainnya. Karena itu, pencarian legitimasi publik ini “bermasalah” karena memaksakan bahasa-bahasa teologis agama tertentu ke dalam ruang publik, padahal asas kepublikan sebuah legitimasi harus mencapai “persetujuan terluas” dari seluruh entitas yang berbeda dalam faktum keberagaman.

Namun toh, apabila publik juga menyetujui hukuman mati, itu tidak berarti publik tidak dapat salah. Suara rakyat bukanlah suara Tuhan, suara rakyat tidak identik dengan kebenaran. Nah, perlu ada norma trans-historis yang dapat memeriksa setiap keputusan-keputusan publik.

Ketiga, asas utilitarian dapat meminggirkan pertimbangan-pertimbangan etis. Asas ini juga bermasalah karena terjebak dalam apa yang disebut Jurgen Habermas: “kontradiksi perfomatoris” yakni penerimaan atas sesuatu berarti penolakan terhadapnya. Ketika penerimaan hukuman mati bersandar pada alasan demi penegakan kemanusiaan, hukum yang bermartabat, dan kesejahteraan, maka hukuman mati justru melanggar komitmen mulianya sendiri. Dengan membunuh nyawa puluhan orang, pemerintah dapat menjadi contoh buruk bagi penghargaan terhadap kemanusiaan, hukum yang mencintai kemanusiaan, dan mengusik kesejahteraan para keluarga korban (yang juga adalah rakyat Indonesia).

Dengan menolak tiga argumentasi di atas, saya tiba pada kesimpulan bahwa hukuman mati dan pembenaran terhadapnya – seperti di Indonesia – tidak berdiri di atas premis-premis yang meyakinkan. Suatu pencarian model solutif yang cocok berkaitan dengan persoalan hukuman mati harus ditemukan, dengan mempertimbangkan faktum keberagaman di Indonesia.

Apa Solusi?

Saya coba menemukan model yang cocok untuk menanggapi persoalan tentang hukuman mati, dengan menguraikan tiga strategi.

Pertama, strategi relativistik. Kaum relativis sering menolak adanya kemestian pendasaran-pendasaran moral universal untuk menjembatani keragaman ide, gagasan, atau pun kesepakatan. Konsep-konsep seperti kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan bersifat partikular, sehingga pencarian sebuah kesepakatan trans-historis bersama yang mengikat kelompok-kelompok bak mencari kutu dalam ijuk. Imbasnya, kesepakatan tentang kebijakan hukuman mati tidak dapat dilakukan di Indonesia karena akan dipenuhi oleh tabrakan-tabrakan horizontal antar-kelompok.

Kedua, strategi pragmatis. Pembunuhan enam juta orang Yahudi di Auswitzch, perang Hutu-Tutsi di Rwanda memberikan pelajaran bahwa ideologi, pembenaran teologis, dan lain-lain atas nama relativisme dapat berdampak buruk bagi kemanusiaan. Sebagai solusi, pemikir pragmatis, seperti Richard Mckay Rorty dari Amerika, mengajukan penolakan radikal atas penjelasan-penjelasan metafisis dan universal dari agama, ideologi, dan lain-lain. Bagi Rorty, tinggalkan alasan dan pembenaran ideologis: cukuplah manusia memastikan bahwa tindakannya tidak melukai orang lain dan menghindarkannya dari penindasan.

Namun, Rorty melupakan sisi kontributif dari agama atau pun ideologi tertentu, dan  melupakan bahwa keberadaan konsep etis tersebut tidak dapat dipisahkan dari peran agama dan budaya. Karenanya, pembicaraan tentang hukuman mati dalam strategi pragmatis bisa meninggalkan asumsi-asumsi etis, dan meninggalkan penilaian-penilaian universal karena hukuman mati hanya dinilai dari kegunaannya berdasarkan praksis sosial masyarakat. Perlu ada suatu otoritas trans-historis yang berlaku universal untuk menilai kebijakan-kebijakan tentang hukuman mati, sehingga dapat melepaskan diri dari kepentingan pragmatis.

Ketiga, strategi hak asasi manusia (HAM).  Sejak ratifikasinya pada 1948, HAM sering dipakai untuk mengelaborasi masalah-masalah kemanusiaan. Meskipun berdasar dari tradisi religius dan budaya, HAM sudah mendapatkan isi rasionalitas inklusifnya, sehingga dapat berguna bagi penegakan kemanusiaan universal. Universalitas HAM dapat menjadi konsep normatif yang dapat melampaui sekat-sekat pemisah.

Selain itu, HAM muncul sebagai negasi atas pengalaman penderitaan manusia sekaligus otoritas moral tertinggi yang menjadi basis terakhir legitimasi HAM. Pada tahap ini, kerja sama tidak lagi sebatas toleransi, solidaritas, atau pun empati, tetapi semangat bela rasa (compassio). Bela rasa akan menjadikan nasib, penderitaan, kehidupan orang dan kelompok lain sebagai juga nasib, penderitaan, kehidupan dan kelompoknya.

Dalam HAM, hak manusia untuk hidup tidak dapat diganggu gugat karena bersifat pra negara. Hak manusia atas hidup mendahului negara, dan karena itu, tidak dapat dideterminasi oleh negara atas dasar apa pun. Pasal 1 DUHAM menegaskan bahwa hak hidup ini menjadi dasar dari hak asasi manusia yang lain. Pelanggaran atas hak bukan hanya melanggar hak ini dalam dirinya (in se), melainkan juga melanggar validitas hak-hak yang lain (per se). Dalam dan melalui HAM, legitimasi publik tentang HAM dapat diperiksa untuk mendukung kemanusiaan manusia yang adil dan beradab.

Akhirulkalam, saya tiba pada kesimpulan: hukuman mati tidak dapat diberlakukan di Indonesia karena alasan-alasan yang disampaikan pemerintah tidak memperhitungkan keragamaan di Indonesia, dan terutama melanggar HAM sebagai (1) konsensus bersama yang mempertemukan pelbagai keragaman dan (2) otoritas normatif yang dari padanya setiap pertimbangan kemanusiaan mesti diambil. Strategi HAM harus dilakukan, supaya warga Indonesia tidak perlu wafat secara tragis di taman-taman ideologi yang destruktif.*** (Flores Pos, Kamis, 29 Januari 2015)

Baca juga: Tangan Presiden Jokowi Berdarah!

About Avent Saur

Lahir 27 Januari 1982 di kampung Weto, Kecamatan Welak, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Bulan kelahiran ini masih diragukan, karena Mama saya bilang saya dilahirkan pada bulan usai panen jagung dan padi. Yah... sekitar bulan Juli. Di akte kelahiran dan surat baptis (agama Katolik), 27 Juli 1982.Studi filsafat dan teologi pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Pernah menjadi wartawan pada majalah bulanan KUNANG-KUNANG (2008-2009). Sekarang, tinggal di Ende, "bantu-bantu" di harian umum Flores Pos. Blog ini dibuat, sejak 20 April 2013.
This entry was posted in OPINI and tagged , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

2 Responses to Wafat di Taman Ideologi

  1. ok hukuman mati memang melanggar HAM, tpi bagi merka yg bandar Narkoba buknnya melanggar HAM, bkanya merka jga mnghlkan nyawa org dengan mngdarkan narkoba sehngga pemakai narkotika bsa mninggl jga???

    • Avent Saur says:

      Itu berarti hukuman mati adalah sebuah tindakan pembalasan dendam, padahal hukuman mesti mengandung keadilan, dan keadilan mengandung HAM. Dan negara harus menghindari pembalasan dendam.

Leave a comment